Lika-liku Kerja dari Rumah: Kerjanya Nggak Capek, Fee Memuaskan, Minus Digibahin Tetangga

Table of Contents
seorang laki-laki bekerja dari rumah
ilustrasi seseorang kerja dari rumah (pexels.com/KATRIN BOLOVTSOVA)
Kerja dari rumah itu enak, katanya. Bisa kerja sambil selonjoran, nggak perlu dandan, dan bebas memilih jam kerja sendiri. Tapi realitanya, capeknya tetap terasa ada, fee memang memuaskan, tapi omongan tetangga kadang lebih pedas dari deadline yang harus diselesaikan karena tuntutan dari klien.

Saya tahu rasanya karena sudah menjalaninya. Bertahun-tahun kerja dari rumah, nulis, ngonten, jualan buku secara online, tapi tetap dianggap “nganggur” oleh orang sekitar. 

Di balik semua fleksibilitas itu, ada lika-liku yang sering nggak kelihatan. Bahkan, mencoba untuk menekuni kesibukan ini sejak SMA kelas 11, tepatnya di tahun 2019 yang harusnya sudah paham sama ritmenya. Tapi tetap saja stigma masyarakat tentang pekerjaan seperti ini masih menganggap pekerjaan tidak jelas.

Kerja di Rumah: Capeknya Bukan di Jalan, Tapi di Pikiran

Kalau orang lain capek di jalan karena macet dan panas-panasan, sebagai salah satu tim yang bekerja dari rumah seperti saya, rasa capeknya itu muncul karena harus mikir terus dari pagi sampai malam. Deadline datang tiba-tiba, revisi bisa berkali-kali, dan kadang klien balas pesan jam sebelas malam seolah semua freelancer nggak punya jam istirahat.

Tapi karena saya nggak berangkat pagi-pagi atau pakai seragam kerja, orang-orang mengira pekerjaan semacam ini dianggap santai-santai saja. Padahal kenyataannya, kerja dari rumah itu butuh manajemen waktu dan mental yang kuat. 

Saya memang nggak punya atasan yang ngingetin tumpukan kerjaan. Tapi tiap malam, saldo e-wallet ngingetin saya bahwa jadi kaya itu butuh keberanian. Karena tanpa atasan yang mengawasi, saya jadi harus mendorong diri untuk tetap disiplin dan termotivasi. Gagal mengatur waktu, bisa-bisa nggak jadi gajian minggu itu.

Fee Lumayan, Tapi Nggak Terlihat Kaya

Satu artikel bisa dihargai ratusan ribu. Satu project bisa jadi kerja sama bernilai jutaan rupiah. Tapi karena uangnya nggak turun tiap tanggal satu, dan saya nggak pernah atau jarang sekali unggah foto pakai kemeja duduk di kantor keren, orang-orang kira saya masih belum mapan. Ya, karena memang masih terus berjuang, kan?

Padahal, dari kerja remote seperti ini, Alhamdulillah saya bisa bayar tagihan listrik bulanan, bantu keluarga, menunjang kebutuhan di perkuliahan dan tetap bisa lulus tepat waktu, sampai beli motor cash. Hanya saja, karena penghasilannya nggak kelihatan dan kerjanya nggak di kantor, dianggap belum punya pekerjaan.

Ironisnya, penghasilan fleksibel yang sering dianggap nggak jelas itu justru kadang lebih besar dari mereka yang rutin gajian tiap bulan. Tapi ya itu, validasinya tetap kurang kalau nggak ada kantor, ID card, atau slip gaji.

Digibahin Tetangga: Tiap Hari di Rumah, Kok Nggak Malu?

Setiap kali keluar rumah, saya selalu saja mendapatkan tatapan heran dari tetangga. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Mungkin saja, mereka membatin, “Sarjana matematika kampus negeri, tapi kok hampir setahun di rumah terus.”

Saya berusaha menyusun jawaban dengan lebih bijak jika pertanyaan itu terdengar langsung dan seringnya tiba-tiba. Awalnya memang terasa sulit, apalagi bagi orang nggak enakan seperti saya. Namun, akhirnya ketika saya bertemu dengan orang yang penasaran tentang pekerjaan, cukup saya jawab dengan mengajar online. Dan, ternyata pertanyaan mereka tidak makin ribet lagi setelahnya.

Lama-lama saya jadi makin sadar, bahwa sarjana matematika yang berdiam diri di rumah itu akan jadi idaman banyak orang, setidaknya para siswa. Bayangkan saja, ketika di luaran sana guru matematika tetap mengajar meski hujan badai, saya tetap di rumah dan melakukan pekerjaan remote dengan santai. Tetangga boleh julid, tapi mereka juga boleh iri, saya adalah sarjana matematika yang diidam-idamkan.

Kerja Nggak Harus Kelihatan, yang Penting Tetap Menghasilkan

Pada akhirnya, saya belajar untuk tidak berharap validasi dari orang yang bahkan tidak paham jenis pekerjaan yang sedang dilakukan. Yang penting, pekerjaan ini halal, menghasilkan, dan membuat saya bisa hidup layak tanpa membebani orang lain.

Saya mungkin nggak pernah mengisi presensi pagi-pagi, nggak ada kantor tetap untuk dikunjungi, dan nggak pakai seragam rapi setiap hari. Tapi saya tahu, kerja yang sesungguhnya adalah kerja yang bertanggung jawab pada diri sendiri dan hasilnya. Mau itu dikerjakan dari kantor, dari kafe, atau dari kamar, rasanya semuanya itu sah-sah saja.

Jadi, kalau kamu juga kerja dari rumah dan sering diremehkan, tenang. Kamu tidak sendiri. Kita cuma butuh satu hal, yaitu terus membuktikan lewat hasil. Dan kalau bisa, sambil senyum kecil saat lihat tetangga yang nyinyir tetap kerja shift panjang sementara kita cukup buka laptop dan mulai berkarya. Meskipun, kadang kalau project dan deadline-nya berdekatan, pusingnya udah gak kira-kira.

Apapun kata tetangga, self-reward itu tetap yang paling penting. Meski cuma ngemil sambil scrolling, ending-nya tetap diam dan lanjutin pekerjaan daripada overthinking. Mau kerja apapun, namanya tetangga juga gitu. Nggak ikut ngejalanin, tapi sukanya ada aja yang ngerusuhin!

Moch Abdul Aziz
Moch Abdul Aziz Aktif sharing tips dan motivasi menulis di instagram dan tiktok dengan username @abdulaziz.writer

Posting Komentar