5 Dilema HRD saat Menolak Kandidat, Bikin Gak Enak Hati!
![]() |
ilustrasi seorang hrd (pexels.com/Yan Krukau) |
1. Kandidatnya bagus, tapi perusahaan belum membutuhkannya
Sering kali, HRD menemukan kandidat yang sangat kompeten, tapi sayangnya posisi yang tersedia tidak cocok atau belum dibutuhkan. Di sisi lain, kalau disimpan terlalu lama, peluang terbaik tersebut bisa menghilang.
HRD dilema antara menyampaikan harapan atau berkata jujur bahwa belum ada kebutuhan. Rasanya seperti menolak bukan karena tidak suka, tapi sebenarnya hanya karena belum waktunya saja.
Ini membuat HRD merasa sangat menyayangkan dan serba salah. Namun, harus bagaimana lagi jika keadaan di lapangan harus memaksanya bertindak demikian. Pada akhirnya, HRD harus tetap mengambil keputusan yang paling relevan.
2. Harus menolak tanpa bisa menjelaskan alasan detail
Ada banyak kandidat yang berharap mendapatkan feedback setelah ditolak, tapi HRD tidak selalu bisa memberikannya. Ada aturan internal dan standar privasi yang membuat penjelasan harus disederhanakan.
Padahal, HRD tahu kandidat tersebut mungkin bisa berkembang dengan masukan yang tepat. Tapi karena keterbatasan dari berbagai sudut pandang, HRD hanya bisa menyampaikan penolakan secara umum.
Ini membuat mereka merasa tidak sepenuhnya membantu. Satu sisi ingin memberikan feedback supaya jadi bahan evaluasi, namun lagi-lagi keterbatasan dan aturan yang dibuat harus tetap dipatuhi bagaimanapun alasannya.
3. Takut merusak kepercayaan diri kandidat
HRD menyadari bahwa satu penolakan dapat berdampak besar pada kepercayaan diri seseorang, apalagi yang baru lulus atau sedang jobseeking lama. Menyampaikan penolakan bukan hanya perihal menutup peluang, tapi juga dapat mempengaruhi kondisi mental kandidat.
HRD sering kali berharap penolakan ini tidak membuat kandidat patah semangat. Tapi tetap saja, rasa bersalah itu pasti muncul diam-diam.
Terutama saat tahu usaha si kandidat sudah maksimal. HRD berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan perusahaan supaya mendapatkan tim sesuai ekspektasi, namun perasaan tidak nyaman tersebut seringkali membuat HRD merasa bersalah.
4. Harus memilih salah satu dari dua kandidat hebat
Ada kondisi ketika dua kandidat sama-sama hebat dan memenuhi syarat. Tapi perusahaan hanya sedang membuka satu posisi saja, sehingga HRD harus membuat keputusan yang sulit.
Menolak yang satu terasa berat karena secara teknis dia juga layak. HRD jadi tertekan karena seperti harus mengorbankan potensi bagus hanya karena kuota terbatas.
Situasi seperti ini sering membekas dan membuat hati mereka tidak tenang. Jika sudah begini, mau tidak mau harus siap memilih mana yang paling baik berdasarkan berbagai pertimbangan. Tidak jarang HRD juga harus berdiskusi dengan tim lain supaya lebih meyakinkan.
5. Khawatir nama baik perusahaan tercoreng karena penolakan
Setiap interaksi dengan kandidat bisa membentuk citra perusahaan, termasuk saat proses penolakan. HRD khawatir jika cara penyampaiannya salah, kandidat akan merasa tidak dihargai dan menyebarkan pengalaman negatif.
Padahal HRD berusaha seprofesional mungkin, tapi tetap ada resiko kesalahpahaman. Mereka ingin menjaga hubungan baik, meski harus menyampaikan kabar kurang menyenangkan.
Karena itu, proses menolak kandidat pun dilakukan dengan hati-hati. Inilah pentingnya seorang HRD untuk terus belajar terkait bagaimana berkomunikasi dengan berbagai pihak, supaya meminimalisir adanya kesalahpahaman.
Menolak kandidat bukan sekadar bagian dari prosedur, tapi juga tantangan emosional bagi HRD. Di balik keputusan yang terlihat formal, ada rasa bersalah, empati, dan dilema yang tidak bisa diceritakan ke semua orang.
HRD pun ingin semua kandidat sukses, hanya saja tidak selalu bisa mengakomodasi semua harapan. Nah, kalau kamu ditolak artinya juga harus tetap yakin bahwa itu bukanlah akhir, dan bisa jadi HRD pun berharap kamu mencoba lagi di lain waktu!
Posting Komentar